![]() |
| Gambar oleh Sasin Tipchai dari Pixabay |
KURESENSI MEDIA - Gemah ripah loh jinawi, demikianlah bunyi salah satu semboyan yang melekat pada Negara Indonesia sebagai suatu bangsa yang memiliki ribuan kekayaan dalam berbagai hal.
Disadari atau tidak kekayaan Indonesia tidak akan bisa disamakan dengan negeri mana pun di jagad ini. Bahkan jika surga dilambangkan dengan kekayaan, maka Indonesia adalah satu-satunya negeri di dunia yang pantas disebut surga.
Ditinjau menurut kacamata keanekaragaman etnis, terdapat sekitar 250 etnis yang berbeda di Indonesia (Kemdikbud RI, 2016). Jumlah etnis tersebut, tentu melahirkan berbagai bentuk kebudayaan yang berbeda di setiap daerah.
Kemudian kebudayaan yang berbeda itu pada hakikatnya menciptakan kearifan lokal yang berbeda pula sebagai suatu warisan luhur dari nenek moyang sejak dahulu kala.
Baca juga: Sihirku Adalah Tidak Pernah Menyerah
Kearifan lokal sendiri menjadi potensi pembentuk karakter sosial dan identitas dari suatu daerah yang tentu memiliki nilai-nilai kebaikan dan patut dilestarikan.
Kritis Budaya Lokal
Euforia terhadap era globalisasi cenderung menimbulkan efek yang mengkhawatirkan. Kemudahan akses informasi global membuat berbagai pihak sulit membendung impor budaya yang terjadi secara masif, terutama kepada generasi muda selaku pengguna terbanyak media informasi online.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018 ada 171,17 juta pengguna internet dan segmen usia 15-19 tahun memiliki angka penetrasi paling tinggi mencapai 91%.
Sementara itu, dilansir dari Republika.co.id pada tahun 2020 angka pengguna internet meningkat menjadi 175,5 juta pengguna dari total 268,58 juta penduduk Indonesia.
Baca juga: Menjaga Jari di Era Media, Sama Pentingnya dengan Menjaga Lisan
Penggunaan internet ini memang memiliki sisi positif bagi penduduk seperti kemudahan mendapat informasi, kemudahan berkomunikasi dengan individu yang saling berjauhan, dan lain-lain.
Namun, keberadaannya juga menimbulkan efek samping berupa perubahan karakter sosial masyarakat.
Dewasa ini banyak dijumpai individu yang tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya karena terlalu asyik mengoperasikan gadget dan hidup dalam bayang-bayang dunia maya.
Hal itu menimbulkan kurangnya sosialisasi antar elemen masyarakat dan menciptakan generasi apatis terhadap lingkungan.
Baca juga: Membangun Citra Diri Melalui Media Online
Kemudahan informasi tersebut pun menjadi sebab meningkatnya angka persebaran hoaks yang seringkali dapat menimbulkan konflik antar golongan tertentu. Pada tahun 2019 lalu, Kominfo temukan 3.801 hoax yang tersebar di internet.
Perilaku tidak peduli pada sekitar yang telah menjamur dapat memperparah kesalahan persepsi masyarakat karena cenderung kurang aktif untuk melakukan cross check informasi.
Kemudian jika meninjau budaya berbahasa, masyarakat cenderung meninggalkan penggunaan bahasa daerah sebagai bentuk kearifan lokal.
Kurang lebih, Indonesia memiliki 741 bahasa dari Sabang sampai Merauke dengan prediksi 75% diantaranya akan mati karena ditinggalkan oleh para penuturnya.
Baca juga: Cara Meningkatkan Jumlah Viewers Blog
Bahasa daerah dianggap kuno dan terkesan ketinggalan zaman sehingga banyak orang tua yang lebih membiasakan anaknya untuk fasih berbahasa Indonesia maupun bahasa asing. Lambat laun hal ini akan menimbulkan kematian bahasa daerah karena generasi berikutnya tidak akan mengenal bahasa daerahnya sendiri.
Jika beberapa hal yang telah dikemukakan terjadi terus-menerus dengan tidak ada upaya penanggulangan yang efektif, maka tak dapat disangkal bahwa Indonesia akan kehilangan kekayaan budaya sebagai bentuk identitas diri bangsa.
Potensi Sosialisasi Budaya dengan Teknologi
Ada tantangan dan ancaman yang diberikan teknologi terhadap eksistensi budaya. Jika belajar dari proses seleksi alam, maka dapat dilihat bahwa setiap hal yang tidak bisa bersesuaian dengan perubahan zaman maka akan ditinggalkan atau mengalami kemusnahan dari kehidupan manusia, begitu pula eksistensi budaya.
Artinya tidak dapat dipungkiri beberapa kebudayaan yang tidak bisa menyesuaikan perubahan zaman akan musnah diganti dengan kebudayaan baru.
Baca juga: Pikirlah Kemudian Tindaklah
Namun, manusia sebagai subjek pengendali terutama manusia Indonesia perlu mengendalikan nilai-nilai yang berkembang agar tetap hidup dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Meski perubahan teknologi menjadi ancaman bagi eksistensi budaya, tetap ada potensi teknologi sebagai pembangkit mekarnya budaya yang mencerminkan identitas bangsa Indonesia.
Teknologi virtual seperti instagram, facebook, youtube, dan sebagainya memiliki potensi untuk menjadi alat sosialisasi yang paling mudah untuk mengenalkan kebudayaan. Potensi itu akan mampu dimanfaatkan dengan baik atau tidak bergantung pada seberapa masif sosialisasi budaya dilakukan.
Pokok penting yang perlu disosialisasikan adalah nilai-nilai kebudayaan yang menjadi identitas dari bangsa Indonesia. Nilai-nilai kebudayaan itu akan menjadi tonggak pencipta budaya baru yang tentu akan selalu sesuai dengan identitas bangsa Indonesia.
Baca juga: Refleksi Hari Kasih Sayang
Adapun pelestarian budaya yang masih ada, perlu kesadaran bersama dari pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia. Proses transfer budaya kepada generasi muda adalah satu-satunya cara yang dapat dilakukan agar budaya tersebut tidak hilang dari peradaban.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai pemangku dalam bidang budaya perlu memberikan stimulasi khusus terkait kebudayaan dan masyarakat perlu menyadari bahwa dalam kebudayaan terkandung segudang nilai kebaikan bagi peradaban.[s]
Disclaimer: Artikel ini pernah dilombakan dalam Lomba Artikel November Saintek tahun 2020
