![]() |
| Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay |
KURESENSI MEDIA - Globalisasi merupakan proses menyatunya dunia sebagai akibat dari pesatnya perkembangan teknologi. Semenjak teknologi gencar dikembangkan, proses globalisasi semakin menguat di tengah kehidupan masyarakat.
Adanya globalisasi membuat hubungan manusia saling terbuka dan bergantung satu sama lain tanpa terikat dengan jarak dan waktu.
Di Indonesia, menilik hasil Wearesosial Hootsuite pengguna media sosial mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi pada Januari 2019.
Dari data tersebut menjadi dasar bahwa kehidupan manusia akan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi di era globalisasi saat ini.
Baca juga: Sekolah Alam Berbasis Kelas Sebagai Solusi Menurunkan Stress Akademik
Keterbukaan dan ketergantungan yang sekaligus terfasilitasi oleh teknologi menyebabkan jarak seakan tidak jauh karena manusia dapat berkomunikasi dengan siapapun di dunia melalui gawai.
Manusia seakan dipermudah dalam hubungan jarak jauh dengan fasilitas teknologi yang membuatnya mampu berinteraksi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung.
Artinya adanya teknologi dapat meningkatkan mobilitas komunikasi tanpa memandang jarak dan waktu, serta tanpa harus bertemu secara langsung jika jarak tempuh belum memungkinkan untuk dijangkau.
Namun, disisi lain kecanggihan teknologi membuat dunia maya seakan-akan menjadi tak terkendalikan, sehingga membuat dunia nyata seakan bergeser fungsinya sebagai tempat sosialisasi masyarakat.
Baca juga: Senjakala Budaya dan Branding Nilai Kebudayaan
Pada kondisi ini, budaya baru yang bersifat individualis meningkat dalam realitas karena segalanya telah dipindah tugaskan melalui dunia maya.
Bahkan perkembangan teknologi menyebabkan dunia mengalami disrupsi besar serta membuat shock berbagai pihak konvensional.
Salah satu contohnya yaitu ranah perdagangan yang kian hari mulai ikut tergeser posisinya dari pasar konvensional menjadi online shop, hal ini tentu berimplikasi pada perekonomian dunia. Imbasnya – dunia di berbagai belahan, ketika memasuki abad 20 mengalami krisis moneter.
Degradasi Moral
Beberapa tahun berlalu, manusia mulai bisa kembali menyesuaikan diri dengan adanya globalisasi dan teknologi. Namun, dengan adanya perkembangan teknologi dan globalisasi, beberapa kebudayaan mulai baur dan keramahan khas (khususnya di Indonesia) kian tergerus.
Baca juga: Sihirku Adalah Tidak Pernah Menyerah
Dalam hal sikap, individualism terus meningkat karena setiap orang tidak perlu banyak bersosial melalui cara konvensional dengan adanya kemudahan-kemudahan yang tersedia.
Salah satu permasalahan umum yang telah menjadi rahasia publik adalah hilangnya unggah-ungguh penghormatan dari anak muda ke orang yang lebih tua.
Dalam tutur bahasa, chatting (WA, IG, Facebook, dll) tidak dapat diidentifikasi berdasarkan nada suara dan mimik muka sehingga hal ini lambat laun menghilangkan budaya penghormatan ditinjau secara verbal.
Di sisi lain, budaya malu pun lambat laun mulai terkikis, hal ini terlihat dari budaya tik-tok yang kian marak seakan-akan tidak adanya rasa malu jika hal itu terlihat orang masyarakat umum.
Baca juga: Menjaga Jari di Era Media, Sama Pentingnya dengan Menjaga Lisan
Adat ketimuran dengan ciri khas masyarakatnya yang agamis dan santun mulai terdegradasi oleh budaya liberal. Dalam hal ini, masyarakat lokal justru malu berkecimpung dengan budayanya sendiri karena anggapan kuno mulai muncul dalam pikiran.
Adapun budaya liberal yang mengedepankan materialistik dan asas kesenangan terus berkembang secara otomatis. Tentunya jika tidak dibendung maka akan berakibat pada kebudayaan lokal yang kehilangan jati dirinya.
Filltering Perlu Ditingkatkan
Masuknya kebudayaan asing sebagai pereduksi moral melalui jalan globalisasi dan teknologi sebetulnya bukanlah masalah serius yang sulit dipecahkan. Pada intinya hal yang patut ditanamkan pada masyarakat adalah filtering budaya inputan dari asing.
Hakikatnya, hadirnya globalisasi merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan atau bahkan menutup diri, justru hal itu membuat kita akan semakin kudet atau tertinggal dengan perkembangan zaman. Namun, yang diperlukan manusia adalah melakukan filterisasi terhadap budaya yang masuk.
Baca juga: Membangun Citra Diri Melalui Media Online
Sejatinya budaya asing (khususnya budaya yang buruk) tidak akan menjangkiti negeri jika masyarakat memilah mana yang tidak perlu dipraktikkan di masyarakat sendiri.
Sebagaimana, dalam kaidah Al-Muhafadzah bil aqdamil shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara tradisi atau budaya nasional yang baik, serta mengadopsi budaya baru yang tidak bertentangan dengan identitas nasional).
Dari dasar tersebut, sekiranya terdapat budaya asing yang bertolak belakang dengan identitas nasional, maka hal itu perlu ditinggalkan seperti halnya budaya seks bebas, pacaran, minuman keras, dan individual.
Tentu mindset awal yang perlu dibangun adalah bahwa budaya lokal bukan budaya kuno. Budaya lokal merupakan warisan luhur bangsa yang harus dijunjung tinggi sebagai identitas masyarakat. Keunikan budaya di Indonesia menjadi suatu hal yang tidak ditemui di berbagai Negara lainnya.
Baca juga: Cara Meningkatkan Jumlah Viewers Blog
Jika masyarakat menerapkan prinsip tersebut dalam kehidupan, khususnya di era globalisasi saat ini identitas bangsa Indonesia akan terus terjaga.
Globalisasi bukan menjadi hal yang menakutkan, namun bagaimana masyarakat bisa mengaktualisasikannya dengan tetap menjaga warisan budaya nasional seperti gotong royong, budaya malu, rukun, dan ramah tetap terjaga.
Serta melakukan adopsi budaya luar yang sekiranya dapat memabngun bangsa Indonesia lebih baik, seperti kerja keras, disiplin dan kerja cerdas. Wallahu A’lamu Bi Al-Shawab.[s]
Disclaimer: Telah diterbitkan di Kolom Opini Harian duta Masyarakat 17 Maret 2020
